Minggu, 02 Desember 2012

Kualifikasi dan Validasi


          Industri farmasi merupakan badan usaha yang memiliki izin usaha dari Mentri Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat. Sebagai fasilitas kefarmasian dibidang pembuatan, industri farmasi harus membuat obat sesuai persyaratan yang telah ditetapkan CPOB yakni aman (safety), berkhasiat (efficacy) dan bermutu (quality). Dalam pencapaiannya menghasilkan obat yang memenuhi persyaratan CPOB, industri farmasi harus menerapkan aspek-aspek CPOB mulai dari Manajemen Mutu, Personalia, Peralatan, Ruangan dan Fasilitas Sanitasi dan Hygine, Produksi, Pengawasan Mutu, Inspeksi Diri dan Audit Mutu, Penanganan Keluhan terhadap Produk Penarikan Kembali Produk dan Produk Kembalian, Dokumentasi, Pembuatan Analisis Berdasarkan Kontrak, hingga Kualifikasi dan Validasi. Keseluruhan aspek tersebut merupakan mata rantai mutu yang tidak dapat dipisahkan untuk menghasilkan produk yang bermutu. Apabila industri farmasi tidak menerapkan ke 12 aspek ini, maka mutu obat yang dihasilkan tidak akan baik.
     Salahsatu aspek penting dalam CPOB adalah Kualifikasi dan Validasi. Aspek ini akan menentukan mutu obat yang dihasilkan, karena kegiatan kualifikasi dan validasi dilakukan sebelum, selama dan sesudah proses produksi obat dilakukan. Pengawasan selama proses produksi obat disebut in procces control yang membutuhkan personil tervalidasi, artinya personil yang melakukan pengawasan harus memahami tugasnya.  Selain personil, peralatan dan sistem yang digunakan untuk proses produksi sebelum dan sesudahnya harus divalidasi agar dapat menciptakan obat yang bermutu.
     Sebelum memproduksi obat, selain perencanaan yang matang mengenai aktivitas dan sumber daya yang akan digunakan, perlu adanya validasi. Validasi adalah tindakan pembuktian terdokumentasi untuk membuktikan validitas dari objek validasi. Tujuan dilakukannya validasi adalah menjamin mutu obat dengan memberikan bukti mengenai keakuratan objek validasi, mengkaji semua risiko yang tidak dapat ditoleransi terhadap mutu obat dan mengetahui tahapan kritis dari suatu proses produksi obat. Validasi dapat memberikan keuntungan, dengan menghemat biaya produksi dan memperdalam pemahaman mengenai proses yang tervalidasi. Proses yang dipahami dan pengawasan yang memadai akan meningkatkan mutu obat yang akan dihasilkan.
   Seluruh kegiatan validasi yang akan dilakukan harus direncanakan terlebih dahulu. Perencanaan validasi yang dibuat, dimuat dalam Rencana Induk Validasi (RIV) yang menyajikan informasi mengenai program kerja validasi perusahaan dan memberi rincian jadwal kerja validasi yang harus dilaksanakan. Program yang telah dibuat akan dilaksanakan oleh Tim Validasi seperti : kepala QA, kepala QC, dan kepala Produksi serta kepala bagian lain yang bersangkutan. Rincian kegiatan validasi dan kualifikasi yang akan dilakukan dibuat kedalam bentuk protokol validasi yang tertulis (terdokumentasi). Protokol validasi merinci langkah kritis dan kriteria penerimaan. Sebelum melakukan kegiatan validasi orang yang bersangkutan harus mengerjakan sesuai yang tertera dalam protokol validasi, dan setelah selesai melakukan validasi orang tersebut harus membuat laporan validasi yang memuat ringkasan hasil yang diperoleh, tanggapan terhadap penyimpangan yang terjadi, kesimpulan dan  rekomendasi. Setiap perubahan terhadap rencana yang ditetapkan dalam protokol harus didokumentasikan dengan pertimbangan yang sesuai.
      Kegiatan kualifikasi merupakan bagian dari kegiatan validasi untuk personil, peralatan, dan sistem. Kualifikasi mencakup 5 kegiatan :
a.     Kualifikasi Desain
Adalah unsur pertama dalam melakukan validasi terhadap fasilitas, sistem dan peralatan baru. Tujuan kualifikasi ini adalah untuk memenuhi spesifikasi fasilitas, sistem dan peralatan yang dibutuhkan.
b.    Kualifikasi Instalasi 
Adalah unsur kedua dalam melakukan validasi terhadap fasilitas, sistem dan peralatan baru atau yang dimodifikasi. Tujuannya untuk menyesuaikan spesifikasi dan gambar teknik yang di desain dengan instalasi peralatan, pipa, sarana dan instrumentasi. 
c.    Kualifikasi Operasional
Adalah tahap setelah kualifikasi instalasi dilakukan. Tujuan kualifikasi ini adalah menguji satu atau beberapa kondisi yang mencakup batas operasional atas dan bawah dan menguji fungsi dan sistem peralatan.  
d.    Kualifikasi Kinerja
Adalah tahap setelah kualifikasi instalasi dan operasional dilakukan. Tujuan kualifikasi kinerja adalah melihat kinerja alat (masa uji coba) dengan produk simulasi.
e.    Kualifikasi Fasilitas, Peralatan dan Sistem terpasang yang telah operasional.
Tujuan kualifikasi ini adalah untuk mendokumentasikan parameter operasional, batas variable kritis pengoperasian alat, kalibrasi alat, prosedur pengoperasian, pembersihan, perawatan preventif, prosedur dan latihan operator.
Selain kegiatan kualifikasi, terdapat pula kegiatan validasi  yang meliputi validasi prosedur dan validasi proses. Validasi proses merupakan validasi dalam proses pembuatan sediaan obat yang mencakup validasi produk baru, validasi bila terjadi perubahan proses dan validasi ulang. Validasi dibagi menjadi :
a.  Validasi Prospektif : Validasi yang dilaksanakan sebelum produksi rutin dilakukan dan sebelum produk dipasarkan.
b.  Validasi KonKuren : Validasi yang dilaksanakan sambil melakukan produksi rutin untuk dijual dan sesuai dengan protokol yang telah disiapkan dan disetujui. Bets dapat diluluskan berdasarkan hasil serangkaian uji Pengawasan Mutu yang intensif, pengkajian kondisi pembuatan dan persetujuan dari Pemastian Mutu. Validasi ini dilaksanakan apabila, misal : terjadi perubahan pabrik pembuat eksipien atau perubahan mesin dengan spesifikasi yang sama.
c. Validasi Retrospektif : Validasi proses pembuatan produk yang telah dipasarkan dilaksanakan berdasarkan data pembuatan, pengujian dan pengawasan bets. Data 10-30 bets produk yang dibuat dengan menggunakan pembuatan yang sama, dievaluasi keterkendalian dan kehandalan prosesnya.
d. Validasi Pembersihan : Validasi prosedur pembersihan yang dilakukan hanya untuk permukaan alat yang bersentuhan langsung dengan produk.
e.  Validasi Ulang : Evaluasi secara berkala terhadap fasilitas, sistem, peralatan dan proses termasuk proses pembersihan untuk mengkonfirmasi bahwa validasi masih absah. Jika tidak ada perubahan yang signifikan dalam status validasinya, maka kajian ulang data yang menunjukkan bahwa fasilitas, sistem, peralatan dan proses memenuhi persyaratan untuk validasi ulang. Validasi ulang mungkin diperlukan pada kondisi seperti : perubahan sintesis bahan aktif, perubahan komposisi produk jadi dan perubahan metode analisis.
      Proses validasi yang mengalami perubahan baik terhadap bahan awal, komponen produk, peralatan proses, lingkungan kerja (atau pabrik), metode produksi atau pengujian ataupun perubahan yang berpengaruh pada mutu atau reprodusibilitas proses sebaiknya tersedia prosedur secara tertulis dan didokumentasikan.
    Untuk mengetahui bahwa metode analisis sesuai tujuan penggunaannya diperlukan kegiatan validasi terhadap metode analisis. Kegiatan validasi metode analisis  meliputi :
a.  Uji Identifikasi dilakukan  untuk memastikan identitas analit dalam sampel dengan membandingkan karakteristik sampel terhadap baku pembanding. Misal : spectrum, profil kromatogram, reaksi kimia dan lain-lain.
b.    Uji Kuantitatif Kandungan Impuritas dan Uji Batas Impuritas dilakukan untuk merefleksikan secara tepat karakteristik kemurnian dari sampel. Karakteristik yang berbeda diperlukan untuk uji kuantitatif dibandingkan untuk uji batas impuritas.
c.      Uji Kuantitatif zat aktif dalam sampel bahan atau obat atau komponen tertentu dalam obat. Penetapan kadar ini untuk menentukan kadar analit dalam sampel yang menunjukkan pengukuran komponen utama yang terkandung dalam bahan aktif. Untuk obat karakteristik validasi yang serupa juga berlaku untuk penetapan kadar zat aktif atau komponen tertentu. Karakteristik validasi yang sama juga dapat dilakukan untuk penetapan kadar yang berkaitan dengan metode analisis lain (misal: uji disolusi).
       Metode analisis akan menentukan karakteristik validasi yang perlu dievaluasi, diantaranya seperti : akurasi, presisi, ripitabilitas, intermediate precision, spesifisitas, batas deteksi, batas kuantitasi, linearitas, dan  rentang.
     Berdasarkan uraian tersebut diatas, baik segala bentuk aktivitas maupun sumber daya untuk memproduksi obat yang telah direncanakan, hendaknya divalidasi agar memberikan bukti yang keakuratannya dapat meningkatkan mutu obat. Didalam kegiatan validasi terdapat Rencana Induk Validasi yang digunakan sebagai acuan proses validasi. Baik rincian dan hasil dari kegiatan validasi harus didokumentasikan dengan baik untuk memudahkan dalam menjalankan tugas dan memberi rekomendasi terhadap hasil validasi di waktu yang akan datang. Apabila kegiatan validasi perlu diulang seperti adanya perubahan yang signifikan, yang dapat mempengaruhi mutu obat maka serangkaian kegiatan validasi tersebut harus terdokumentasikan.

Senin, 12 November 2012

FiRLa24

lapman by FirLa24
lapman, a photo by FirLa24 on Flickr.

i miss when u look at me..
i miss when u beside me..
now, we are so far..

Rabu, 07 November 2012

Dila, Mey dan Nana

Dila, Mey dan Nana by FirLa24
Dila, Mey dan Nana, a photo by FirLa24 on Flickr.

Me and my Friend's in Bogor

Flickr

This is a test post from flickr, a fancy photo sharing thing.

INPEPSA suspensi


Komposisi                   : Sukralfat
Indikasi                       : Tukak duodenum dan tukak lambung, gastristis kronik.
Dosis                           : Dewasa 2 sdt 4.x/hr
Pemberian Obat          : Berikan pada saat perut kosong 1 jam sebelum atau 2 jam sesudah makan dan menjelang tidur malam hari
Perhatian                     : Gagal ginjal kronik, pasien dialisis, hamil, laktasi, dan anak
Efek Samping               : Konstipasi, mulut kering
Interaksi Obat             : Menurunkan absorpsi simetidin, siprofloksasin, digoksin, ketokonazol, narfloksasin, fenitoin, ranitidin, tetrasiklin, dan teofilin
Kemasan dan Harga    : 500mg/5mL x 100 mL x1 (Rp.43.000,-) 200mLx1 (Rp.67.000,-)
Pabrik                         : Fahrenheit
US FDA Preg Cat       : B

SUKRALFAT

Sinonim                       : Alumane; 3,4,5-trisulfooxy-2-(sulfooxymethyl)-6-[3,4,5-
trisulfooxy-2-(sulfooxymethyl) oxolan-2-y1] oxy-oxane; icosahydrate.
Formula Kimia            : C11H87Al9O55S8
Massa Molekul            : 1599.14 g/mol.
Bioavailabilitas            : 3-5% (bekerja secara lokal).
Metabolisme                : Gastrointestinal dan hati.
Waktu Paruh               : Tidak diketahui.
Ekskresi                       : Feces dan urine

Sukralfat adalah obat oral gastrointestinal pertama yang diindikasikan untuk mengobati duodenal ulcer aktif. Sukralfat juga digunakan untuk mengobati Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) dan stress ulcer. Sukralfat adalah sucrose sulfate-aluminum complex atau disebut juga garam aluminium dari sukrose sulfat yang mengikat asam hydrochloric di dalam lambung dan bekerja seperti buffer asam dengan sifat sitoprotektif.

Farmakologi Sukralfat
Sukralfat adalah sitoprotektor atau mukoprotektor yang melindungi ulkus terhadap difusi asam, pepsin dan garam empedu (proteksi lokal). Sukralfat mempunyai efek sitoproteksi pada mukosa lambung melalui 2 mekanisme yang terpisah, yakni (a) melalui pembentukan prostaglandin endogen dan (b) efek langsung meningkatkan sekresi mukus (Setiawati 1992).
Percobaan laboratorium dan klinis menunjukan bahwa sukralfat menyembuhkan tukak dengan 3 cara, yaitu (1) membentuk kompleks kimiawi yang terikat pada pusat ulkus sehingga merupakan lapisan pelindung; (2) menghambat aksi asam pepsin dan garam empedu; dan (3) menghambat difusi asam lambung. Penelitian menunjukan bahwa sukralfat dapat berada dalam jangka waktu lama dalam saluran cerna sehingga menghasilkan efek obat yang panjang.
Sukralfat sangat sedikit terabsorbsi di saluran cerna sehingga menghasilkan efek samping sistemik yang minimal, kebanyakan bersifat asymtomatis. Toksisitas akut (LD50) aplikasi secara oral pada mencit adalah lebih dari 8000 mg/kg. Cara kerja sukralfat adalah dengan membentuk selaput pelindung di dasar ulkus untuk mempercepat persembuhan


Mekanisme Kerja Sukralfat
Sukralfat adalah substansi yang bekerja lokal pada lingkungan asam yang memiliki konsistensi kental seperti bahan perekat yang mampu bereaksi sebagai buffer asam untuk waktu yang lama, yaitu 6-8 jam setelah dosis tunggal. Sukralfat mengikat protein (albumin dan fibrinogen) pada permukaan ulkus dengan stabil dan tidak dapat dipecahkan atau tahan terhadap hidrolisis pepsin. Perlindungan fisik atau kompleks itu besifat melindungi permukaan ulkus dan mencegah kerusakan lebih lanjut oleh asam, pepsin dan empedu. Kemungkinan sukralfat juga mencegah kembalinya difusi ion hidrogen, penyerapan pepsin dan asam empedu, dan dapat menstimulasi peningkatan protaglandin E2, epidermal growth factors (EGF), fibroblast growth factor dan mukus lambung.

Penggunaan Sukralfat
Sukralfat digunakan untuk pengobatan jangka pendek (sampai 8 minggu) pada ulkus duodenum aktif. Sukralfat (4 x 1 g sehari pada perut kosong) efektif untuk mengurangi kerusakan mukosa lambung (ulcus peptikum) dan gejala-gejala saluran cerna akibat penggunaan OAINS. Pada hewan kemungkinan sukralfat dapat mencegah terjadinya ulcer akibat AAS atau OAINS lainnya.

Efek Samping Umum Sukralfat
Efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan sukralfat antara lain konstipasi, mulut terasa kering (Xerostomia), diare, mual, muntah, tidak nyaman di perut, kembung (Flatulentsi), pruritus, rash, mengantuk, nyeri pada bagian belakang, hypophosphatemia dan sakit kepala atau Cephalalgia. Sukralfat menyebabkan konstipasi ringan pada 2-10 % penderita karena mengandung aluminium, dan dapat menimbulkan toksisitas aluminium pada penderita gagal ginjal. Kerugiannya yang utama adalah cara pemberiannya; biasanya 4 kali sehari, terutama pada ulkus lambung, serta tidak diberikan bersama antasida ataupun makanan. Pada penggunaan jangka panjang alumunium dalam sukralfat dapat terakumulasi dalam otak dan tulang; penyebab kelemahan tulang.

TUKAK PEPTIKUM

Ketidakseimbangan antara faktor-faktor agresif (asam dan pepsin) dan faktor-faktor defensif (resistensi mukosa) pada mukosa lambung-duodenum menyebabkan terjadinya gastritis, duodenitis, ulkus lambung dan ulkus duodenum. Tukak kronis disebut pula ulcus peptikum, karena berhubungan dengan ”peptic juice”, yaitu asam lambung. Istilah tukak peptik mencakup tukak duodenum dan tukak di lambung.

Tukak Duodenum
Tukak duodenum merupakan suatu penyakit yang kronis dan sering kambuh. Sekitar 60% tukak duodenum yang telah sembuh, kumat kembali dalam waktu 1 tahun dan 80-90% kambuh dalam waktu 2 tahun.


Etiologi dan patogenesis
Meskipun dewasa ini telah banyak diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya tukak duodenum, namun patogenesis penyakit ini belum diketahui seluruhnya. Sekresi asam lambung bertanggung jawab atas timbulnya tukak duodenum, namun faktor-faktor yang menyebabkan individu peka terhadap ulserasi duodenum masih belum diketahui. Timbulnya tukak duodenum dianggap sebagai akibat ketidakseimbangan antara sekresi asam lambung pepsin dengan resistensi mukosa lambung atau duodenum.

Gambaran Klinis
Gejala tukak duodenum yang paling sering adalah nyeri didaerah epigastrium. Rasa nyeri ini sering kali diutarakan seperti terbakar atau perih, namun kemungkinan batasnya tidak jelas, perasaan tertekan atau penuh di perut atau sebagai sensasi lapar. Sekitar 10% penderita mengeluh rasa nyeri disebelah kanan dan pertengahan epigastrum. Rasa nyeri khas terjadi antara 90 menit sampai 3 jam setelah makan. Akibat rasa nyeri ini, penderita sering terbangun pada malam hari. Rasa nyeri biasanya menghilang dalam waktu beberapa menit setelah makan atau minum antasida.

Tukak Lambung
Sekitar 55% tukak lambung terjadi pada laki-laki. Secara khas, tukak lambung dalam dan meluas sampai di sebelah atas mukosa lambung. Hampir semua tukak lambung jinak terletak di antrum, pada suatu zona tepat disebelah distal dari sambungan mukosa antrum dengan mukosa korpus ventrikuli yang mensekresi asam. Lokasi sambungan ini bermacam-macam, terutama pada kurvatura minor lambung. Tukak lambung jarang terjadi pada kurvatura mayor lambung. tukak lambung hampir selalu disertai gastritis dan berbagai atrofi mukosa yang mengenai antrum.

Etiologi dan patogenesis
Asam pepsin tampaknya memegang peranan penting dalam patogenesis tukak lambung. Sekitar 10% sampai 20% penderitatukak lambung juga menderita tukak duodenum. Penderita dengan kedua jenis tukak tersebut mempunyai pola sekresi asam seperti penderita tukak duodenum.
Patogenesis tukak lambung dipengaruhi oleh banyak faktor. Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa resistensi mukosa lambung dan atau trauma mukosa lambung merupakan faktor yang paling renting. Kadar gastrin serum meningkat pada beberapa penderita tukak lambung, namun peningkatan ini terbatas pada penderita hiposekresi asam lambung. Juga dijumpai keterlambatan pengosongan lambung. Diperkirakan bahwa regurgitasi isi duodenum, terutama yang mengandung empedu, dapatmencetuskan trauma mukosa lambung dan kemudian berlanjutdengan ulserasi lambung

Gambaran klinis
Seperti pada tukak duodenum, gejala yang paling sering dijumpai pada tukak lambung adalah nyeri di daerah epigastrium. Rasa nyeri ini dapat menyerupai tukak duodenum, namun beberapa penderita tukak lambung mengalami rasa nyeri yangtidak menghilang dengan pemberian makanan dan bahkan dapat dicetuskan atau diperberat dengan pemberian makanan

Gastritis
Gastritis merupakan suatu proses inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung dan memiliki 2 jenis keadaan, yaitu gastritis akut dan kronis. Gastritis akut ringan adalah inflamasi akut mukosa lambung dengan reaksi neutrofil pada lapis superfisial mukosa yang sebagian besar kasus merupakan penyakit yang ringan dan sembuh sempurna. Terjadinya gastritis kronis bila adanya infiltrasi sel radang pada lamina propria dan/epitelial terutama terdiri atas limfosit dan sel plasma. Kehadiran neutrofil pada daerah tersebut menandakan peningkatan aktivitas gastritis kronis.


DAFTAR PUSTAKA

Basuki. Triono. 2008. Efektifitas Sukralfat Dalam Menghambat Gastritis Akibat Penggunaan Asam Asetil Salisilat Pada Tikus Putih (Rattus Norvegicus). Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor : Bogor.

Djuwantoro. Dwi. 1992. Diagnosa dan Pengobatan Tukak Peptik. Cermin Dunia Kedokteran. No. 79. Hal: 14-16.

Setiawati, Arini. 1992. Farmakologi dan Penggunaan Terapi Obat-obat Sitoproteksi. Cermin Dunia Kedokteran. No. 79. Hal: 29-35.

MIMS. Edisi 11. 2011/2012. Inpepsa. Fahrenheit. Hal : 5




















Jumat, 02 November 2012

CARA PENYIMPANAN OBAT


I.              PENDAHULUAN
Dalam upaya pengobatan suatu penyakit, biasanya diberikan beberapa jenis obat yang saling berbeda baik bentuk sediaannya maupun kemasannya. Hal ini selalu terjadi di masyarakat luas, maka perlu dipikirkan cara menyimpan obat. Bila cara penyimpanan obat tidak memenuhi persyaratan cara menyimpan obat yang benar, maka akan terjadi perubahan sifat obat, sampai terjadi kerusakan obat.
Selain itu, sebagian dari kasus keracunan obat disebabkan karena cara penyimpanan obat yang salah. Menyimpan obat dengan benar dapat menjamin keamanan pemakaian obat-obatan tersebut. Penyimpanan obat dengan cara yang benar membantu menjaga kondisi obat tetap dalam keadaan yang baik atau tidak rusak. Selain itu, juga dapat menghindarkan kesalahan penggunaan obat oleh orang yang salah, misalnya anak-anak.
Kegiatan pengelolaan dan penggunaan obat dimulai dari:
1.    Pemilihan jenis obat dan alat kesehatan yang dibutuhkan
2.    Perencanaan untuk mengadakan obat dan alat kesehatan tersebut
dalam jenis, jumlah, waktu dan tempat yang tepat
3. Pengadaan berdasarkan pertimbangan dana yang tersedia dan skala prioritas untuk pengadaan yang tepat
4.    Penyimpanan yang tepat sesuai dengan sifat masing-masing obat dan
alat kesehatan
Penyimpanan yang tepat dan sesuai dapat dipastikan bahwa mutu obat tersebut baik.  Penyimpanan merupakan kegiatan pengaturan perbekalan farmasi menurut persyaratan yang ditetapkan menurut bentuk sediaan dan jenisnya, suhu dan kestabilannya mudah tidaknya meledak/terbakar, dan tahan/tidaknya terhadap cahaya, disertai dengan sistem informasi yang selalu menjamin ketersediaan perbekalan farmasi sesuai kebutuhan.
Penyimpanan perbekalan farmasi merupakan kegiatan pengaturan sediaan farmasi di dalam ruang penyimpanan dengan tujuan untuk:
1.  Menjamin mutu tetap baik, yaitu kondisi penyimpanan disesuaikan dengan sifat obat, misalnya dalam hal suhu dan kelembaban.
2.  Memudahkan dalam pencarian, misalnya disusun berdasarkan abjad.
3.  Memudahkan pengawasan persediaan/stok dan barang kadaluarsa, yaitu
4. Disusun berdasarkan First In First Out (FIFO) dan First Expired First
Out (FEFO)
5.    Menjamin pelayanan yang cepat dan tepat.

II.            CARA PENYIMPANAN OBAT  SECARA UMUM
Cara penyimpanan obat yang secara umum perlu diketahui oleh masyarakat adalah sebagai berikut :
a.    Ikuti petunjuk penyimpanan pada label/ kemasan
b.    Simpan obat dalam kemasan asli dan dalam wadah tertutup rapat.
c.    Simpan obat pada suhu kamar dan hindari sinar matahari langsung.
d.    Jangan menyimpan obat di tempat panas atau lembab.
e.    Jangan menyimpan obat bentuk cair dalam lemari pendingin agar tidak beku, kecuali jika tertulis pada etiket obat.
f.     Jangan menyimpan obat yang telah kadaluarsa atau rusak.
g.    Jangan meninggalkan obat di dalam mobil untuk jangka waktu lama.
h.    Jauhkan obat dari jangkauan anak-anak.
Peralatan penyimpanan obat secara umum memerlukan :
1.    Lemari/rak yang rapi dan terlindung dari debu, kelembaban dan cahaya yang berlebihan
2.    Lantai dilengkapi dengan palet

III.           CARA PENYIMPANAN OBAT SECARA KHUSUS
Penyimpanan obat yang secara khusus juga perlu diketahui oleh masyarakat adalah sebagai berikut :
1.   Sediaan obat vagina dan ovula
Sediaan obat untuk vagina dan anus (ovula dan suppositoria) disimpan di lemari es karena dalam suhu kamar akan mencair.
2.   Sediaan Aerosol / Spray
Sediaan obat jangan disimpan di tempat yang mempunyai suhu tinggi karena dapat menyebabkan ledakan.

Peralatan yang digunakan untuk penyimpanan obat dengan kondisi khusus diantaranya :
1.    Lemari pendingin dan AC untuk obat yang termolabil
2.    Fasilitas peralatan penyimpanan dingin harus divalidasi secara berkala
3.    Lemari penyimpanan khusus untuk narkotika dan obat psikotropika
4. Peralatan untuk penyimpanan obat, penanganan dan pembuangan limbah sitotoksik dan obat berbahaya harus dibuat secara khusus untuk menjamin keamanan petugas, pasien dan pengunjung
Beberapa obat perlu disimpan pada kondisi dan tempat yang khusus untuk memudahkan pengawasan, yaitu :
1.   Obat golongan narkotika dan psikotropika masing-masing disimpan dalam lemari khusus dan terkunci.
2.   Obat-obat seperti vaksin dan supositoria harus disimpan dalam lemari pendingin untuk menjamin stabilitas sediaan.
3.   Beberapa cairan mudah terbakar seperti aseton, eter dan alkohol disimpan dalam lemari yang berventilasi baik, jauh dari bahan yang mudah terbakar dan peralatan elektronik. Cairan ini disimpan terpisah dari obat-obatan.
Syarat ruang penyimpanan menurut Kepmenkes No.1197/Menkes/ SK/X/2004 adalah ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi, sanitasi temperatur sinar/cahaya, kelembaban, fentilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan keamanan petugas, kondisi khusus untuk ruang penyimpanan :
- Obat termolabil
- Alat kesehatan dengan suhu rendah
 

IV.           DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional.. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan. Departemen Kesehatan R I. 2008. Materi Pelatihan
Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih Obat bagi Tenaga
Di akses pada 24 Oktober 2012, 20.00WIB.

Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan. Departemen Kesehatan R I. 2006. Pedoman Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas http://binfar.depkes.go.id/
Di akses pada 24 Oktober 2012, 18.00WIB.

Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Departemen
Kesehatan RI. 2006. Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
Di akses pada 24 Oktober 2012, 18.24 WIB.


Ratnadita Adhelia. 2011. Tips Menyimpan Obat yang Benar dan Aman.
http://health.detik.com/ Di akses pada 24 Oktober 2012, 17.24 WIB.
           

            ISO. Volume 46. 2011-2012. Ikatan Apoteker Indonesia. Jakarta.

            MIMS. Edisi 11. 2011-2012. Bhuana Ilmu Populer. Jakarta.

I